(dimuat di Majalah Ummi, November 2014)
***
Saya
sempat enggan mengunjungi tempat ini setelah mendengar cerita bahwa tempat ini
sebenarnya adalah tempat yang dilaknat Allah. Kaum muslim sebaiknya tidak
mengunjungi tempat-tempat seperti ini.
Ternyata,
tempat ini dibuka untuk umum. Pemerintah Saudi juga tidak melarang orang-orang
untuk mengunjunginya. Saat teman-teman beramai-ramai ingin berkunjung ke sana,
saya dan keluarga tidak berpikir dua kali untuk ikut rombongan konvoi.
|
Madain Saleh, Arab Saudi, foto : Dani Rosyadi |
Nama
resmi tempat ini adalah Al Hijr. Tapi lebih terkenal dengan istilah Madain
Saleh. Madain diambil dari kata Madinah (kota). Tempat ini konon dulu dihuni
oleh orang-orang dari masa Nabi Saleh, kaum Tsamud, yang akhirnya dilaknat
Allah karena berkhianat.
Sedangkan
Al Hijr berarti Pegunungan Batu. Sesuai namanya, salah satu pesona utama Al
Hijr adalah arsitektur bangunan khas yang dipahat di gunung-gunung batu yang
mendominasi wilayah ini. Sebenarnya, peninggalan apa sih di Al Hijr ini?
Menuju Al Hijr di Kota Al Ula
Al Hijr letaknya cukup jauh dari
Kota Jeddah, Arab Saudi, kota tempat saya bermukim. Agar tidak terlalu letih
jika harus menyetir langsung hingga mencapai tempat ini, kami semua menginap
terlebih dahulu di Madinah.
Dari Madinah, barulah keesokan
paginya kami beramai-ramai menuju Madain Saleh yang berjarak sekitar 400 km
dari Kota Madinah. Cukup jauh, ya?
Tapi, itulah istimewanya
infrastruktur di Negeri Ladang Minyak ini. Hampir semua jalan-jalan tol yang
menghubungkan antar kota sudah terbangun rapi, mulus dan lebar-lebar.
Hati-hati, jangan keenakan dan terbawa ingin ngebut.
|
Kota Al Ula, Arab Saudi, foto : Dani Rosyadi |
Di
hampir setiap jalan utama sudah dipasang sebuah kamera pengintai kecepatan,
Saher. Bisa terkena radar kamera dan sebuah pesan akan masuk ke dalam ponsel
pengemudi berupa tagihan ratusan riyal. Sebagai denda karena sudah melanggar
batas kecepatan maksimal.
Kota
Al Ula sendiri cukup khas. Bukan gurun pasir dan bukit batu berwarna abu-abu
yang kita temui di sana. Di hampir sepanjang jalan menuju Al Hijr, kami dipukau
oleh barisan bukti batu berwarna coklat. Terpahat aneka rupa secara
natural oleh alam.
Sebagai
informasi, Al Hijr dibuka untuk umum tanpa dikenakan biaya apa pun. Tapi perlu semacam tasrikh
(surat izin). Kami menyewa seorang pemandu, seorang penduduk asli Al Ula. Nah,
beliau ini yang mengurus masalah izin masuk setibanya kami di sana. Sang
pemandu sendiri kami bayar sekitar 300 riyal untuk memandu kami yang tergabung
dalam satu rombongan besar.
Kereta Api dan Stasiun Kereta dari
Kekaisaran Ottoman
Tempat pertama yang kami singgahi
adalah sebuah tempat yang memasang sebuah rangka kereta api lengkap dengan
stasiunnya. Tentu saja, begitu keluar dari mobil, anak-anak langsung
berhamburan merubung di sekitar kereta. Naik turun dan berlarian di sana.
Ternyata, ini adalah peninggalan
dari Kekaisaran Ottoman Turki yang
pernah berkuasa di sebagian besar wilayah Timur Tengah termasuk wilayah Arab
Saudi. Kereta dan stasiunnya dulu dibangun untuk mengangkut jemaah haji menuju
Mekkah dari wilayah Suriah dan Yaman.
|
Foto : Dani Rosyadi |
Menurut pemandu kami, rangka
keretanya itu asli. Hanya dicat ulang saja. Masih kokoh dan bagus.
Stasiun kereta yang tengah dibangun
ini sempat mengalami kerusakan saat pertempuran lokal di masa Perang Dunia I.
Pemerintah Saudi yang berinisiatif untuk merenovasi tempat ini. Setelah
dipugar, dijadikan bagian dari tempat wisata dalam areal Al Hijr.
Peninggalan Suku Nabatean
Setelah
susah payah mengajak anak-anak turun dari kereta dan kembali ke mobil, kami
melanjutkan perjalanan. Pemandu mengajak kami berhenti di tempat yang lain.
Kali ini, mobil diparkir tak jauh dari deretan gunung-gunung batu yang dari
jauh belum begitu jelas bentuknya apa.
Turun dari mobil, kami mengikuti
pemandu. Dari dekat baru kelihatan ternyata gunung-gunung batu tersebut telah dipahat
menjadi bangunan-bangunan khusus. Nyaris seperti rumah. Ada pintu masuk tapi
tidak ada jendela.
Bangunan di bukit batu tersebut
adalah peninggalan dari suku Nabatean yang hidup di abad pertama Masehi. Suku
Nabatean juga yang mengukir peninggalan sejarahnya di daerah Petra, sebuah
tempat wisata terkenal di wilayah Yordania.
|
Foto : Dani Rosyadi |
Pemandu kami bilang, cara
orang-orang dahulu membuat bangunan di bukit batu cukup khas. Hanya menggunakan
air dan sebilah kayu untuk memahat. Air digunakan untuk melembutkan batu
sehingga mudah dibentuk dengan sebilah kayu tadi. Sederhana sekali, bukan? Tapi
hasilnya … mengagumkan dan terus bertahan hingga kini.
Kami juga
diberitahu bahwa deretan bangunan di bukit batu tersebut digunakan sebagai
kuburan. Di salah satu bangunan terpahat gambar elang di atas bagian pintu.
Untuk apa, ya? Ternyata, jasad yang masih utuh ditaruh begitu saja terlebih
dahulu di depan pintu. Menunggu untuk dimangsa oleh elang. Setelah itu, sisa
tulang belulangnya dimasukkan ke dalam.
Kami dibawa berjalan sedikit menuju
deretan bangunan yang digunakan sebagai tempat bermukim alias rumah. Bentuknya
agak mirip. Ada pintu tanpa jendela. Kali ini, kami masuk dan melihat-lihat ke
dalam. Suasana di dalam gelap karena tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk.
Langit-langit ruangan cukup rendah.
Rumahnya juga terbagi-bagi atas beberapa ruangan termasuk kamar tidur. Seluruh
ruangan kosong. Pemandu kami yang menunjukkan yang mana ruang makan mana ruang
tidur karena buat saya sih sama saja bentuk ruangannya.
Ad Diwan, Tempat Pemujaan Kaum
Nabatean
Tempat
terakhir yang kami singgahi adalah Ad Diwan. Bangunan ini berupa batu besar
yang atasnya berbentuk runcing. Ada beberapa bangunan yang berdiri berjajar
Tiap batu besar dipahat sehingga bagian tengahnya kosong yang digunakan sebagai
sebuah ruangan berukuran besar.
|
Foto : Dani Rosyadi |
Ad Diwan digunakan sebagai tempat
berkumpul untuk beribadah bersama di zaman tempat ini dihuni oleh Kaum
Nabatean. Di tengah ruangan ada pahatan batu yang kalau dilihat-lihat mungkin
dimaksudkan sebagai meja.
Pemandu pamit sebelum kami
meninggalkan Ad Diwan. Tapi jangan khawatir. Di Al Hijr, ada keterangan lengkap
yang ditulis di sebuah layar plastik. Layar-layar tersebut menempel di atas
tugu-tugu setinggi pinggang manusia dewasa. Keterangannya dalam 2 bahasa, Arab
dan Inggris. Tulisan-tulisan tersebut terlindung aman dalam bingkai kaca.
Langit sudah mulai memerah. Padahal
masih banyak tempat lain yang belum sempat kami singgahi. Tapi, kami memutuskan
untuk pergi saja. Menurut seorang teman yang pernah ke sana, tempat lainnya
juga mirip-mirip dengan yang kami datangi tadi. Cuma fungsi dan lokasinya saja
yang mungkin tidak sama.
Seru juga mengunjungi Al Hijr.
Sebagai informasi tambahan, tempat ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia di tahun
2008. Jadi, memang layak dimasukkan sebagai tempat jalan-jalan unik saat
mengunjungi Negeri Penjaga Dua Tanah Haram, Arab Saudi.
Akomodasi
Sayang sekali, hingga saat ini,
pemerintah Arab Saudi belum membuka visa turis bagi pendatang asing. Kami
berkesempatan mengunjungi Madain Saleh lebih
karena kami semua memang bermukim di Kota Jeddah.
Kota Al Ula ini tergolong kecil dan
sepi. Tidak terlalu banyak penginapan yang bisa kita temui. Para turis dari
luar kota rata-rata hanya datang dan pergi, jarang ada yang menginap.
Karena jalanan penghubung antar kota
di Arab Saudi sudah terbangun dengan rapi dan mulus, kami pun sepakat
menginapnya di Madinah saja. Dari Madinah ke Al Ula membutuhkan waktu sekitar
3-4 jam. Pompa bensin juga tidak sulit ditemukan di sepanjang jalan tol. Jangan
khawatirkan harga bensin. Karena di Arab Saudi, seliter bensin djual dengan
sangat murah. Sekitar seribu rupiah per liter saja.
Urusan perut tidak perlu khawatir.
Di Kota Al Ula ada rumah-rumah makan yang menyediakan sajian khas seperti
nasi-nasi arab dan macam-macam kebab. Rasanya cukup cocok untuk lidah Asia.
Kalau di Indonesia, mungkin bisa kita umpamakan nasi arab seperti nasi kebuli. Harga
makanan di kota-kota kecil relatif lebih murah. Satu porsi kebab lengkap dengan
nasi arabnya bisa didapatkan seharga 10-15 riyal saja (1 riyal setara dengan
sekitar 3000 ribu rupiah).
Tak perlu repot-repot mencari
makanan halal di seantero Saudi. Karena pemerintah memberikan jaminan penuh
atas kehalalan semua jenis makanan yang dijual untuk umum. Jadi, kita bisa
leluasa menikmati hidangan apa saja di restoran apa pun.
|
Foto : Dani Rosyadi |
***