Friday, January 1, 2016

Traveling to Andes in Summer Time (2)

After slightly  disappointing experience in  Farellones and  El Colorado ( those place are  closed to each other  around  5 km), the guide  brought  us to  La Parva (2700M height).

La parva  is the center of rigs between El Colorado  and Valley Nevado, known as Valley of 3 resorts.

Here we were taking the ski lift  to the  top of  rigs, which is 3000-3500 m above.  Eventhough it was summer time, the place was quite busy with people  going with cycle or trekking to the top of La Parva.

Wow, people do exist !! Hahaha.

You had no idea how relieve to see such scene after "loneliness" back then in Farellones and El Colorado -_-.


Here was ... some breathtaking views  on the ski lift when we were on the way to the top of  la parva.


At the end of the ski lift, people are continuing either with bicycle or simply trekking on foot.




 The view  from  sky lift stop  toward the base  ...  quite amazed to see that the sky color were divided  into smog and blue. Never see such thing before.

The trip were continued on foot. Some physical challenge began. The track was quite hard for a beginner. Once  we reached The Laguna, we were officially  3500 m above the sea level. It was really worth the effort.


The Laguna  Piquenes from a far view ...



There were lots of moss like this grows in the top of la parva.  It's said that it can be used for fire.


From the laguna we could spot the views toward  many other  rigs. Some of them were in different colours.


In picture below, small erected stone, used  as a sign for trekker.


Laguna  Piuqueness, 3500 metre height. From here, if you are physically ready for treking, you can go up to  4500 M. The place was quite busy with trekker that day.


From there, the guide brought us to one more challenge ... going to the top! 

From that top we should see the eternal snow top (5000M)  where only allowed for tourists with training and professional guide  trekker.


The guide, of course, reached the top before us :D.


The Laguna, as it's seen when we reached the top of Mirador  


I and my fellas were taking a picture after finally reaching the summit of  La Parva :). One of our friend decided not to climb up due to the track looks quite challenging. The man with green shirt + red hat is our guide.



Being in the Summit of La Parva is the end of our second round of the tour.  From here  we  headed to Valley  Nevado, the last place of three-rounds tour.

Stay tune! :D

To be continued ... 

Regards



Read More »

Thursday, December 31, 2015

Ada Apa di Madain Saleh (Arab Saudi)?

(dimuat di Majalah Ummi, November 2014) 


***
Saya sempat enggan mengunjungi tempat ini setelah mendengar cerita bahwa tempat ini sebenarnya adalah tempat yang dilaknat Allah. Kaum muslim sebaiknya tidak mengunjungi tempat-tempat seperti ini.

Ternyata, tempat ini dibuka untuk umum. Pemerintah Saudi juga tidak melarang orang-orang untuk mengunjunginya. Saat teman-teman beramai-ramai ingin berkunjung ke sana, saya dan keluarga tidak berpikir dua kali untuk ikut rombongan konvoi.

Madain Saleh Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Madain Saleh, Arab Saudi, foto : Dani Rosyadi


Nama resmi tempat ini adalah Al Hijr. Tapi lebih terkenal dengan istilah Madain Saleh. Madain diambil dari kata Madinah (kota). Tempat ini konon dulu dihuni oleh orang-orang dari masa Nabi Saleh, kaum Tsamud, yang akhirnya dilaknat Allah karena berkhianat.

Sedangkan Al Hijr berarti Pegunungan Batu. Sesuai namanya, salah satu pesona utama Al Hijr adalah arsitektur bangunan khas yang dipahat di gunung-gunung batu yang mendominasi wilayah ini. Sebenarnya, peninggalan apa sih di Al Hijr ini?

Menuju Al Hijr di Kota Al Ula

            Al Hijr letaknya cukup jauh dari Kota Jeddah, Arab Saudi, kota tempat saya bermukim. Agar tidak terlalu letih jika harus menyetir langsung hingga mencapai tempat ini, kami semua menginap terlebih dahulu di Madinah.

            Dari Madinah, barulah keesokan paginya kami beramai-ramai menuju Madain Saleh yang berjarak sekitar 400 km dari Kota Madinah. Cukup jauh, ya?

            Tapi, itulah istimewanya infrastruktur di Negeri Ladang Minyak ini. Hampir semua jalan-jalan tol yang menghubungkan antar kota sudah terbangun rapi, mulus dan lebar-lebar. Hati-hati, jangan keenakan dan terbawa ingin ngebut.

Menuju Madain Saleh Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Kota Al Ula, Arab Saudi, foto : Dani Rosyadi 


Di hampir setiap jalan utama sudah dipasang sebuah kamera pengintai kecepatan, Saher. Bisa terkena radar kamera dan sebuah pesan akan masuk ke dalam ponsel pengemudi berupa tagihan ratusan riyal. Sebagai denda karena sudah melanggar batas kecepatan maksimal.

Kota Al Ula sendiri cukup khas. Bukan gurun pasir dan bukit batu berwarna abu-abu yang kita temui di sana. Di hampir sepanjang jalan menuju Al Hijr, kami dipukau oleh barisan bukti batu berwarna coklat. Terpahat aneka rupa secara natural  oleh alam.

Sebagai informasi, Al Hijr dibuka untuk umum tanpa dikenakan  biaya apa pun. Tapi perlu semacam tasrikh (surat izin). Kami menyewa seorang pemandu, seorang penduduk asli Al Ula. Nah, beliau ini yang mengurus masalah izin masuk setibanya kami di sana. Sang pemandu sendiri kami bayar sekitar 300 riyal untuk memandu kami yang tergabung dalam satu rombongan besar.

Kereta Api dan Stasiun Kereta dari Kekaisaran Ottoman

            Tempat pertama yang kami singgahi adalah sebuah tempat yang memasang sebuah rangka kereta api lengkap dengan stasiunnya. Tentu saja, begitu keluar dari mobil, anak-anak langsung berhamburan merubung di sekitar kereta. Naik turun dan berlarian di sana.

            Ternyata, ini adalah peninggalan dari  Kekaisaran Ottoman Turki yang pernah berkuasa di sebagian besar wilayah Timur Tengah termasuk wilayah Arab Saudi. Kereta dan stasiunnya dulu dibangun untuk mengangkut jemaah haji menuju Mekkah dari wilayah Suriah dan Yaman.

Kereta di Madain Saleh Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Foto : Dani Rosyadi 


            Menurut pemandu kami, rangka keretanya itu asli. Hanya dicat ulang saja. Masih kokoh dan bagus.

            Stasiun kereta yang tengah dibangun ini sempat mengalami kerusakan saat pertempuran lokal di masa Perang Dunia I. Pemerintah Saudi yang berinisiatif untuk merenovasi tempat ini. Setelah dipugar, dijadikan bagian dari tempat wisata dalam areal Al Hijr.

Peninggalan Suku Nabatean

            Setelah susah payah mengajak anak-anak turun dari kereta dan kembali ke mobil, kami melanjutkan perjalanan. Pemandu mengajak kami berhenti di tempat yang lain. Kali ini, mobil diparkir tak jauh dari deretan gunung-gunung batu yang dari jauh belum begitu jelas bentuknya apa.

            Turun dari mobil, kami mengikuti pemandu. Dari dekat baru kelihatan ternyata gunung-gunung batu tersebut telah dipahat menjadi bangunan-bangunan khusus. Nyaris seperti rumah. Ada pintu masuk tapi tidak ada jendela.

            Bangunan di bukit batu tersebut adalah peninggalan dari suku Nabatean yang hidup di abad pertama Masehi. Suku Nabatean juga yang mengukir peninggalan sejarahnya di daerah Petra, sebuah tempat wisata terkenal di wilayah Yordania.

Bangunan batu Madain Saleh Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Foto : Dani Rosyadi 


            Pemandu kami bilang, cara orang-orang dahulu membuat bangunan di bukit batu cukup khas. Hanya menggunakan air dan sebilah kayu untuk memahat. Air digunakan untuk melembutkan batu sehingga mudah dibentuk dengan sebilah kayu tadi. Sederhana sekali, bukan? Tapi hasilnya … mengagumkan dan terus bertahan hingga kini.

Kami juga diberitahu bahwa deretan bangunan di bukit batu tersebut digunakan sebagai kuburan. Di salah satu bangunan terpahat gambar elang di atas bagian pintu. Untuk apa, ya? Ternyata, jasad yang masih utuh ditaruh begitu saja terlebih dahulu di depan pintu. Menunggu untuk dimangsa oleh elang. Setelah itu, sisa tulang belulangnya dimasukkan ke dalam.

Kami dibawa berjalan sedikit menuju deretan bangunan yang digunakan sebagai tempat bermukim alias rumah. Bentuknya agak mirip. Ada pintu tanpa jendela. Kali ini, kami masuk dan melihat-lihat ke dalam. Suasana di dalam gelap karena tidak ada lubang agar cahaya bisa masuk. 

Langit-langit ruangan cukup rendah. Rumahnya juga terbagi-bagi atas beberapa ruangan termasuk kamar tidur. Seluruh ruangan kosong. Pemandu kami yang menunjukkan yang mana ruang makan mana ruang tidur karena buat saya sih sama saja bentuk ruangannya.

Ad Diwan, Tempat Pemujaan Kaum Nabatean
          
  Tempat terakhir yang kami singgahi adalah Ad Diwan. Bangunan ini berupa batu besar yang atasnya berbentuk runcing. Ada beberapa bangunan yang berdiri berjajar Tiap batu besar dipahat sehingga bagian tengahnya kosong yang digunakan sebagai sebuah ruangan berukuran besar.

Ad Diwan Madain Saleh Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Foto : Dani Rosyadi 

            
Ad Diwan digunakan sebagai tempat berkumpul untuk beribadah bersama di zaman tempat ini dihuni oleh Kaum Nabatean. Di tengah ruangan ada pahatan batu yang kalau dilihat-lihat mungkin dimaksudkan sebagai meja.

            Pemandu pamit sebelum kami meninggalkan Ad Diwan. Tapi jangan khawatir. Di Al Hijr, ada keterangan lengkap yang ditulis di sebuah layar plastik. Layar-layar tersebut menempel di atas tugu-tugu setinggi pinggang manusia dewasa. Keterangannya dalam 2 bahasa, Arab dan Inggris. Tulisan-tulisan tersebut terlindung aman dalam bingkai kaca.

            Langit sudah mulai memerah. Padahal masih banyak tempat lain yang belum sempat kami singgahi. Tapi, kami memutuskan untuk pergi saja. Menurut seorang teman yang pernah ke sana, tempat lainnya juga mirip-mirip dengan yang kami datangi tadi. Cuma fungsi dan lokasinya saja yang mungkin tidak sama.

            Seru juga mengunjungi Al Hijr. Sebagai informasi tambahan, tempat ini ditetapkan oleh  UNESCO sebagai warisan budaya dunia di tahun 2008. Jadi, memang layak dimasukkan sebagai tempat jalan-jalan unik saat mengunjungi Negeri Penjaga Dua Tanah Haram, Arab Saudi.

Akomodasi

            Sayang sekali, hingga saat ini, pemerintah Arab Saudi belum membuka visa turis bagi pendatang asing. Kami berkesempatan mengunjungi Madain Saleh lebih  karena kami semua memang bermukim di Kota Jeddah.

            Kota Al Ula ini tergolong kecil dan sepi. Tidak terlalu banyak penginapan yang bisa kita temui. Para turis dari luar kota rata-rata hanya datang dan pergi, jarang ada yang menginap.

            Karena jalanan penghubung antar kota di Arab Saudi sudah terbangun dengan rapi dan mulus, kami pun sepakat menginapnya di Madinah saja. Dari Madinah ke Al Ula membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam. Pompa bensin juga tidak sulit ditemukan di sepanjang jalan tol. Jangan khawatirkan harga bensin. Karena di Arab Saudi, seliter bensin djual dengan sangat murah. Sekitar seribu rupiah per liter saja.

            Urusan perut tidak perlu khawatir. Di Kota Al Ula ada rumah-rumah makan yang menyediakan sajian khas seperti nasi-nasi arab dan macam-macam kebab. Rasanya cukup cocok untuk lidah Asia. Kalau di Indonesia, mungkin bisa kita umpamakan nasi arab seperti nasi kebuli. Harga makanan di kota-kota kecil relatif lebih murah. Satu porsi kebab lengkap dengan nasi arabnya bisa didapatkan seharga 10-15 riyal saja (1 riyal setara dengan sekitar 3000 ribu rupiah).

            Tak perlu repot-repot mencari makanan halal di seantero Saudi. Karena pemerintah memberikan jaminan penuh atas kehalalan semua jenis makanan yang dijual untuk umum. Jadi, kita bisa leluasa menikmati hidangan apa saja di restoran apa pun.

Madain Saleh Al Hijr Arab Saudi foto Dani Rosyadi
Foto : Dani Rosyadi 



***
Read More »

Wednesday, December 30, 2015

Clonmacnoise, Reruntuhan Biara Leluhur di Padang Rumput Irlandia

(dimuat di Harian Pikiran Rakyat, rubrik Backpacker, Agustus 2013)

Oleh : Jihan Davincka

***

Selain pemandangan alam yang indah, pesona negara Irlandia dipersembahkan oleh jajaran situs-situs peninggalan sejarah. Terutama sejarah yang berhubungan dengan keagamaan, khususnya agama katolik.

Clonmacnoise Irlandia
Clonmacnoise, Foto : Dani Rosyadi 


Situs tersebut tersebar di berbagai wilayah Irlandia. Salah satu situs keagamaan yang terkenal adalah Clonmacnoise. Terletak sekitar 21 km dari kota Athlone. Athlone sendiri bisa ditempuh selama sekitar 1.5 jam dari ibukota Irlandia, Dublin.

Kota Athlone dilewati oleh sungai terpanjang di negeri ini, Sungai Shannon. Di salah satu wilayah di tepian Sungai Shannon inilah terbentang sebuah padang rumput hijau yang pernah menjadi saksi berdirinya sebuah kompleks biara terkenal, Clonmacnoise.

Konon, Clonmacnoise berasal dari bahasa Irlandia yang artinya "Padang Rumput Anak Lelaki dari Nos." Di hamparan padang rumput inilah masih tertinggal sisa-sisa reruntuhan kompleks biara yang pernah menjadi salah satu pusat ilmu agama dan perdagangan di abad ke-9. Selain puing reruntuhan gereja dan kastil, terdapat pula kompleks pekuburan dari raja-raja besar dan pemimpin agama yang hidup di masa tersebut.

***

Kami berkunjung ke sana di bulan Juni, ketika hangatnya mentari tengah menyapa sebagian besar wilayah Irlandia. Suhu udara sangat bersahabat. Musim semi dan musim panas yang biasanya mencapai puncak di bulan April - Agustus merupakan saat yang paling tepat untuk menjelajahi sebagian besar wilayah Eropa.

Jalan jalan ke Clonmacnoise Irlandia
Foto : Dani Rosyadi 


Kompleks biara Clonmacnoise bisa ditempuh dengan menggunakan bis umum dari kota Athlone. Saya, bersama suami dan anak-anak, memilih untuk menyewa mobil dari Athlone. Selama tiga hari, tarifnya hanya sekitar 51 euro saja.

Meskipun jaraknya hanya 21 km, tapi karena medannya yang tidak mudah, waktu tempuh mencapai hampir 1 jam. Sebagian besar jalanan menuju situs ini berkelok-kelok dan sempit. Jalurnya pas-pasan untuk 2 mobil dari 2 arah berlawanan. Uniknya, batas kecepatan maksimumnya adalah 100 km/jam.

Tapi jangan khawatir, menyetir saja dengan santai. Jalurnya relatif sepi, tidak banyak mobil lalu lalang. Orang Irlandia pun terkenal dengan perangainya yang santun, termasuk dalam bertata tertib di jalan raya.

Ditambah lagi di sebagian besar kiri dan kanan jalan disuguhi oleh pemandangan cantik khas pedalaman eropa, padang rumput warna warni lengkap dengan peternakan sapi dan dombanya. Sesekali diselingi bangunan-bangunan berupa rumah kecil bercerobong asap yang dicat warna-warna pastel yang cerah.

Tempat wisata Clonmacnoise disekat oleh pagar batu setinggi kurang dari 1 meter. Jadi, kita bisa mengintip ke dalam dari luar. Jangan sampai terkecoh. Soalnya di sebelah kanan kompleksnya terdapat pula areal pemakaman modern dari warga Irlandia. Tapi areal pemakamannya sangat berbeda dan mudah dikenali dari bentuknya.

Tiba di Clonmacnoise, dari pintu masuk kita langsung menuju sebuah bangunan yang sebagian merupakan museum. Di depan pintu ada tulisan, "Visitor's Centre." Separuhnya lagi adalah kafetaria dan kamar mandi. Meskipun terletak di daerah yang agak terpencil, semua fasilitas umum lengkap dan bersih.

Silakan berjalan-jalan dalam museum terlebih dahulu. Di sana kita bisa mendapatkan banyak sekali keterangan mengenai Clonmacnoise. Tidak hanya menampilkan tulisan-tulisan, tapi dilengkapi dengan berbagai miniatur tentang kegiatan dan bangunan masa lalu di kompleks biara tersebut. Jauh dari rasa bosan dalam menikmati sejarah tempat ini. 





Dalam museum banyak miniatur dan kisah-kisah mengenai 'high crosses', bangunan salib dari batu yang dibuat dalam ukuran besar. Ternyata, banyak sekali 'high crosses' peninggalan zaman dulu yang ditemukan di seantero wilayah Irlandia. Termasuk di Clonmacnoise ini.



Setelah puas mengeliling museum yang memang tempatnya tidak begitu luas, kami segera keluar. Kompleks makam yang menjadi tempat pertama yang kami jajaki begitu meninggalkan bangunan museum. Ternyata benar, hampir di seluruh penjuru tempat ada banyak "high crosses" yang masih berdiri tegak.

Seluruh bangunan yang tertinggal hanya berupa puing-puing saja. Termasuk sebuah katedral yang sudah tidak menyisakan atap sama sekali. Di samping katedral yang dibangun di awal abad ke-10 tersebut, terdapat beberapa reruntuhan kuil-kuil yang ukurannya tidak terlalu besar. Beberapa nama kuil-kuil tersebut antara lain : Connor, Doolin, Melaghin, Dowling dan Hurpan. Kuil yang terkecil ukurannya adalah Kuil Ciaran. Konon, dulunya di sinilah dimakamkan Santa Ciaran, orang yang pertama kali menemukan dan  membangun kuil di wilayah Clonmacnoise ini.

Di sekitar bangunan katedral dan kuil-kuil tadi terhampar areal pemakaman dari zaman lampau. Nisannya tidak berupa batu yang ditancapkan di tanah seperti pada umumnya di tanah air. Tapi sebuah batu persegi yang menempel di tanah. Saat melangkah, kami tak henti-hentinya meminta anak-anak balita kami agar tidak menginjak batu nisan yang telentang begitu saja di sela-sela rerumputan hijau.



Dataran padang rumput di sana tidak mendatar. Tapi  naik turun mengikuti kontur tanah asalnya. Dari dataran tertingginya, pemandangan di bawah cukup cantik. Di rerumputan yang terletak di pesisir sungai langsung dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk beternak. Saat kami ke sana, beberapa ekor sapi yang ukurannya cukup besar sedang asyik bersantai di tepi sungai.

Setelah puas melihat-lihat dan berfoto, saya membawa anak-anak ke kantin untuk mengisi perut. Jangan khawatir untuk para muslim, beli saja air mineral dan silakan memilih berbagai jenis roti tawar yang diletakkan berjejer di kaca depan kasir. Roti isi daging sebaiknya dihindari sama sekali.

Perut kenyang, mari kita pulang. Membawa kenangan manis atas pemandangan cantik yang terhampar di hampir seluruh areal Clonmacnoise. Tak lupa menambah pengetahuan mengenai sejarah umat katolik yang memang sangat kental di negeri yang pernah dijajah oleh Inggris selama 8 abad ini.

***


Read More »

Tuesday, December 29, 2015

Traveling to Andes in Summer Time

What comes to your mind when you hear about "Traveling to Andes" on Summer time?

First thing first, Andes? Where is it? Before, I thought it's somewhere in India or around Himalaya. It's not. Andes is located in South America.

South America. Ok. Then next thing ... no Snow?  Plain, then what to see?

The "plain" feeling soon changed when I reached there last December.

I was there for 3 months  project in Santiago. Apparently  in southern Hemisphere, it's not winter that you'll see at the end of the year over there. Instead, it's hot scorching summer in Chile.

Since I could not wait 'till winter, I decided to check what the available tour to Andes, and  some of them really did offered services to Andes.

So after several calls, I, along with some friends, decided to  pick one of the tours which providing full day tour to Andes.

It costs us 33000 chilean peso (40 euro) per person. The tour package included the trip of Valle Nevado, Farellones, and La Parva.

On the way to Farellones (36 km from Santiago, where the Ski Resort is located), we met this cute fellow below :


Andes fox looking for snack

We also had a stop before reaching Farellones. A seeing of morning breeze from Andes.


 


     
Local people sold colorful shawl souvenir, something you ought to have while you were in Latin America.
 
Picture below, a road sign  to Ski central,  sponsored by a mobile  operator ;).



When we reached  Farellones, the place was empty. We could find no one there. Since there was no activity during summer :(. What a bummer. We felt a bit down at that time. Hesitantly thinking, was it the right time  to visit Andes?

In the winter time,  Farellones will be full of people enjoying skiing and tube sliding. Seemed like we picked the wrong moment. What to do? Let's just take some pics then :D.



Look, it's simply ... nothing :(.



From Farellones, we were heading toward Colorado Ski Resort. The place was much bigger than Farellones, but same situation! There were  no activity in the summer time :(.

We should knew by the name at the first time ... Ski Resort. Ski, Dude! What did we expect on summer? Hahaha :p.

At least, we met some living things this time. A few cows, which seemed to be the only living being in that place at that time. Oh well...


 These cows were good at climbing down the steep landscape. Perhaps, they've been  being  accustomed with the condition in Andes. They should.




As not much things happening in Farellones and El Colorado, after roaming around to take few shoots, we went ahead  to La Parva. Fortunately, this time ... things started to get really excited.

To be continued...

Regards,

-Dani Rosyadi-



Read More »

Sunday, December 27, 2015

Wisata Gurun Pasir ke Padang Badar

(dimuat di Leisure Republika, Oktober 2012)

Oleh : Jihan Davincka
***
Badr, Saksi Sejarah

Umat muslim mana yang tidak mengenal Badr (biasa dilafalkan dengan Badar)? Kalau mendengar kata Badr, yang terlintas pertama kali adalah Perang Badr. Perang besar pertama yang terjadi setelah Rasulullah hijrah ke kota Madinah. Terjadi di pertengahan bulan Ramadan tahun ke-2 Hijriyah. Dimana pasukan muslim berhasil memenangkan pertempuran menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar.

Salah satu perang penting dalam sejarah awal Islam ini pun disebut-sebut dalam alquran. Tidak sedikit ayat-ayat dalam surah Al-Anfal yang menceritakan perihal Perang Badr ini.

Perang Badr terjadi di wilayah yang sekarang ini dikenal sebagai kota Badr. Sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 256 km dari Jeddah. Jarak ini bisa ditempuh dengan menyetir mobil selama 2.5 jam.



Tugu makam para Syuhada di Badar Arab Saudi
Tugu Nama Para Syuhada di Badar, foto : Dani Rosyadi 


Tapi kami sekeluarga dan teman-teman mengunjungi kota ini dalam perjalanan pulang dari Madinah menuju Jeddah. Dengan membanting setir sedikit, kita bisa mampir ke Badr dulu. Dari Madinah, Badr cuma berjarak sekitar 130 km saja.

Kami beberapa kali mengunjungi Badr. Pernah pula menyetir langsung dari Jeddah menuju Badr. Infrastruktur jalanan ke Badr, baik dari Jeddah maupun Madinah, sangat terjamin. Jalanannya lebar dan mulus seperti kebanyakan jalan tol antar kota di negara Saudi pada umumnya.

Petualangan Padang Pasir

Beberapa puluh kilo sebelum memasuki wilayah Badr, kiri kanan jalan akan didominasi oleh bukit-bukit batu nan tandus. Setelah memasuki Badr, bukit-bukit batu perlahan-lahan terganti dengan bukit-bukit pasir. Perbukitannya sangat landai sehingga terlihat membentuk padang pasir yang sangat luas. Kota Badr memiliki kontur berbukit-bukit.

Kami memilih untuk menepi di perbukitan yang berpasir halus tanpa kerikil. Bisa terlihat dari warnanya yang coklat muda tanpa ada bintik-bintik hitam dari kejauhan. Bintik - bintik hitam ini biasanya berupa hamparan batu-batu kerikil atau batu-batu biasa yang berukuran agak kecil dan sedang.

Pemandangannya memang luar biasa. Saat itu Saudi sedang memasuki awal musim dingin. Suhu siang hari di Badr memang masih cukup tinggi, sekitar 32 derajat. Tapi angin bertiup sepoi-sepoi.
Panasnya tidak begitu terik dan tidak gerah. Sehingga anak-anak kami bebas berlari-lari di perbukitan pasir. Anak bungsu saya yang masih bayi  pun sama sekali tidak rewel di gendongan. 


Badar padang pasir Arab Saudi


Pasirnya tidak terasa panas di kulit. Tanpa angin, pasirnya hanya berhamburan bila terinjak kaki.
Melalui kaca jendela ketika mobil masih melaju, saya menjadi bertanya-tanya melihat pemandangan di luar. Tadinya saya menebak-nebak apakah perbukitan pasir itu beralaskan gunung batu juga?

Begitu menjejakkan kaki di atas pasirnya barulah rasa penasaran saya terjawab. Rasanya empuk sekali. Begitu mendaki ke atas, kaki kita seolah akan tersedot oleh timbunan pasir. Benar-benar tumpukan pasir membentuk bukit, bukan bukit batu beralas pasir. Sebaiknya berjalan-jalan dengan membuka alas kaki agar butiran pasir tidak ikut menyusup masuk dan langkah tidak terasa berat.


Padang Badar di Arab Saudi


Setelah mencapai dataran bukit pasir yang agak tinggi, terlihatlah hamparan gurun pasir yang sangat luas. Tampak pula jalan-jalan raya berliku yang membelah gurun. Pemandangan yang cukup unik yang belum tentu bisa dinikmati di banyak tempat.

Jika mengunjungi Padang Badr di puncak musim dingin yang menyapa negara Saudi, siap-siap saja menggigil kedinginan. Suhu gurun di pertengahan musim dingin saat menjelang sore hingga malam hari akan turun menyentuh angka di bawah 10 derajat.

Setelah puas menikmati padang pasirnya, saatnya menjajal kota Badr. Dari areal Padang Pasir tadi hanya butuh sekitar setengah jam untuk mencapai pemukiman penduduk di tengah kota. Tujuan selanjutnya adalah untuk mengunjungi makam para syuhada Badr.

Tak sulit untuk menemukan lokasi makam yang terletak di tengah kota. Hampir semua penduduk di sana tahu pasti letaknya. Cukup katakan "makam?", mereka sudah paham dan akan menunjukkan jalannya.

Sekalipun mengalami kemenangan, tidak sedikit sahabat rasul yang mati syahid dalam perang ini. Tercatat ada 14 orang sahabat yang gugur. Nama-nama keempat belas para syuhada Badr diabadikan dalam sebuah monumen khusus. Monumen ini berdiri tegak di depan areal pemakamannya.

Areal pemakamannya sendiri tertutup untuk umum. Semua sisi-sisi makam dipagari  dengan tembok beton. Untungnya tembok tersebut tidak terlalu tinggi. Kita bisa menyusun batu-batu di pinggiran dinding dan memanjat batu-batu itu untuk melongok ke dalam.

Sembari mengintip dari atas dinding dan membacakan doa untuk para syuhada, banyak juga yang mengabadikan gambar melalui kamera. Menurut beberapa orang pengunjung lain di sana, seharusnya ada penjaga makam yang bisa membukakan gerbang agar kita bisa ziarah langsung ke dalam. Tapi saat kami ke sana, petugas yang dimaksud sedang tidak ada.

Akomodasi di Badr

Kami tidak pernah menginap di Badr. Tujuan utama saat ke sana biasanya memang hanya ingin bertualang sebentar di padang pasirnya. Banyak tempat yang bagus untuk mengambil foto. Dan pemandangannya yang berkesan tak pernah terasa membosankan.

Di Badr akan sangat sulit menemukan tempat penginapan. Kotanya sangat kecil dan sepi. Kontur kota yang didominasi bukit batu dan padang pasir nan tandus tidak membuat kita leluasa menghabiskan waktu lama di sana.


Wisata ke Padang Badar Arab Saudi


Jika ingin menginap, lebih baik mencari penginapan di kota besar terdekat. Dari Badr, kita bisa menginap ke Yanbu, yang berjarak sekitar 90 km saja. Kota industri yang punya pesisir pantai yang cantik. Di sekitar pesisirnya inilah banyak terdapat hotel berbintang lima, resort dari berbagai kelas, dan tidak ketinggalan penginapan berupa full service apartment. Harga penginapan di Yanbu bervariasi. Sekitar 150 riyal per malam hingga mencapai seribuan riyal per malam.

Soal makanan jangan risau. Meskipun tak mungkin menemukan rumah makan khas Indonesia di kota Badr, tak sulit menemukan rumah makan yang menyajikan nasi beraroma khas Arab beserta menu kebabnya. Masakan kebab, yang biasanya terdiri dari daging sapi/ayam/kambing, memiliki rasa dan aroma yang mirip dengan sate. Cita rasanya cocok dengan lidah Asia kita.

Harga makanan relatif lebih mahal daripada harga masakan sejenis di kota Jeddah. Butuh sekitar 20 - 25 riyal per orang untuk sekali makan.

Read More »